Jumat, 09 April 2010

OTONOMI DESA

0 komentar

Bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dibangun diatas dan dari desa. Dan desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini. Namun, sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya manusianya sangat tidak terpikirkan.

Desa sebagai sebuah kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa [kades] serta proses pembangunan desa. Namun, ditengah pemberian otonomisasi desa tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM-nya. Sehingga pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Ambil contoh kasus masalah pengelolaan keuangan desa. Dengan hak otonomnya tersebut desa berhak mengelola keuangan desa secara mandiri. Baik mengelola pendapatan dan sumber-sumber pendapatan tersebut. Juga mengelola pembelanjaan anggaran tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sangat banyak desa yang belum dapat memanfaatkan keistimewaannya tersebut. Ketergantungan dana dari pemerintah pusat maupun daerah masih sangat kuat. Desa belum dapat mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan desa dengan berbasis pada kekayaan dan potensi desa setempat.

Ditambah lagi SDM yang tidak mumpuni blas dalam pengelolaan keuangan menjadikan banyak kasus penyimpangan anggaran. Dan peningkatan kapasitas untuk korupsi sukses dilakukan, itulah yang dipetik dari “hasil belajar” pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Artinya, dengan pemberian kewenangan pengelolaan keuangan desa [berdasarkan Permendagri 37/2007] dan adanya Alokasi Dana Desa [berdasarkan PP 72/2005], yang terjadi adalah bukanya desa semakin maju dan makmur akan tetapi justru semakin banyak kasus penyelewengan dan memperkaya diri yang dilakukan oleh kepala desa.

Sebenarnya hal tersebut diatas dapat [penyelewengan anggaran desa] tidak akan terjadi apabila ada keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap perencanaan [Musrenbang Desa], pelaksanaan dan pengawasan pembangunan hingga pertangunggjawabannya. Namun, yang terjadi memang masih sangat susah dalam melibatkan aktif masyarakat, sebab ternyata dari hasil belajar bersama dengan masyarakat, mereka tidak tidak terlibat aktif memang karena tidak pernah diajak. Nah, ternyata kembali lagi pada kapasitas aparat desa lagi dalam memahami perundangan. Atau memang mereka paham akan tetapi justru mengakali peraturan demi kemudahan dan keuntungan mereka. Hal yang kedua ini juga “hasil belajar” dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Download Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Download Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2005 tentang Desa

Rabu, 07 April 2010

Otonomi Daerah dan Anggaran berbasis Publik

0 komentar
Otonomi Daerah dan Anggaran Berbasis Publik
Oleh: Yana Syafrie YH.
(Dosen Ilmu Pemerintahan UMM)

Implementasi otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah merupakan strategi dalam merespons tuntutan masyarakat di daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of powers, distribution of incomes, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Demikian pula dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen pemerintahan lainnya, seperti bergesernya orientasi pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada demand (tuntutan) and public needs (kebutuhan public). Orientasi inilah kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagi stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembagunan.
Oleh karenanya, otonomi daerah akan menjadi formulasi yang tepat apabila diikuti dengan serangkaian perubahan di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tidak saja sekedar perubahan format institusi, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita mewujudkan good governance benar-benar akan tercapai.
Untuk menciptakan good governance, maka diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik suprastuktur maupun infrastrukturnya, yang intinya adalah adanya pemberdayaan masing-masing elemen yang ada di daerah, yaitu masyarakat (stakeholder), pemerintah daerah (executive), dan DPRD (shareholder). Disamping itu, pentinya reformasi manajemen sektor publik (public management reform) terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru dan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Manajemen publik baru berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja bukan pada kebijakan. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintahan di daerah, diantaranya adalah perubahan pendekatan dalam pengaggaran (budgeting reform), dimana pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan, efesien, rasional dan berkeadilan—termasuk dalam pengertian ini adalah adil secara gender—sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability). Sedangkan reformasi anggaran (budgeting reform) itu sendiri meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran.
Dalam kaitannya dengan formasi diatas, perlunya perubahan secara institusional dan manajemen di sektor publik dalam kerangka good governance pada dasarnya untuk mendukung terciptanya optimalisasi pelayanan public (public servant) sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, lebih jauh lagi untuk menyelenggarakan kebijakan pembangunan yang komprehensif, partisipatif, dan berkeadilan.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur dengan baik dan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu tahun. Di samping itu anggaran merupakan alat kontrol atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan di masa yang akan datang. Sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menduduki posisi sentral (central position) dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.
Pada hakekatnya, anggaran daerah merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah.
Untuk mewujudkan anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan publik, maka APBD harus disusun dengan pendekatan kinerja (base performance budget), dimana ada keterkaitan yang erat antara pengambil kebijakan di DPRD dengan perencanaan operasional oleh Pemerintah Daerah dan penganggaran oleh Unit Kerja, serta adanya upaya mensinergikan hubungan antara APBD, sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, Lembaga Pengelola Keuangan Daerah dan Unit-unit Pengelola Layanan Publik dalam pengambilan Kebijakan.
Disamping itu, sebagai sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, APBD disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran (World Bank:1998). Norma dan prinsip anggaran tersebut adalah pertama, transparan dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan kerangka otonomi daerah dengan mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan bertanggung jawab, dimana diperlukan syarat transparansi dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah. Mengingat anggaran merupakan sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat. Semua alokasi dana yang diperoleh dan penggunannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, tentang disiplin anggaran. Anggaran yang disusun harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan tidak boleh mengesampingkan keseimbangan antara pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Ketiga, efisiensi, dan efektifitas anggaran, artinya alokasi dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, disusun berlandaskan asas efesiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang berkualitas bagi masyarakat. Keempat, keadilan anggaran, yaitu penggunaan anggaran secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah adil secara gender.
Sebagai sebuah catatan dari hasil penelitian penulis tahun 2003 – 2006 APBD di beberapa kota/ kabupaten di Jawa Timur masih terkonsentrasi dan digunakan untuk belanja aparatur dibanding digunakan untuk belanja pelayanan publik, prinsip disiplin anggaran masih belum dilakukan terbukti dengan masih adanya duplikasi dalam anggaran pada pos-pos tertentu (misal belanja pegawai, administrasi (perlatan dan barang), dan pemiliharaan), demikian pula anggaran daerah belum berpihak pada rakyat—pada dinas-dinas yang langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, transportasi publik (infrastruktur jalan)—alokasi dananya masih terbatas bahkan bukan prioritas (Jainuri dan Hijri:2006).
Sudah saatnya masyarakat—baik organisasi masyarakat (ormas), mahasiswa, akademisi, LSM, dll—sebagai pemegang kedaulatan tertinggi juga memegang peranannya, paling tidak ikut berpartisipasi aktif—bersama DPRD dan pemerintah—dalam menyusun distribusi dan alokasi APBD (baca:partisipatory budget) agar tidak terjadi praktek kolusi, korupsi atau pun nepotisme yang selama ini hadir di tengah-tengah kita, adapun dalam implementasinya masyarakat harus tetap menggunakan fungsi pengawasannya, bahkan terbuka lebar untuk mengkritisi sekaligus mengkoreksinya untuk menimalisir terjadinya penyelewengan oleh aparatur pemerintahan.

Daftar Bacaan
Esden, Bootes, 2002, Indonesia Rising Above Challenges, Sourcebook on Decentralization Indonesia Asia, Asia Foundation, IRDA.
Karim, Abdul Gaffar (Ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM, Yogyakarta.

Liang Gie, The, 1968, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

The Building Institution for Good Governance, 2001, Edisi 3.

______________, ICMA dan USAID, 2004, Pelatihan Pelatih Penyusunan Anggaran Kinerja Daerah Propinsi Jawa Timur.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2004, Citra Umbara, Bandung.

World Bank, 1998, World Development Report 1998-The State Indonesia a Changing World, Washington DC: World Bank (http://www.worldbank.org/data/ country data/country data.html).
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol. XXVIII No. 3 Tahun 2002, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.

Jumat, 02 April 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI/PDRB BANGKA TENGAH TAHUN 2005 - 2009

3 komentar

Dalam situasi seperti sekarang ini pertumbuhan ekonomi (economic growth) masih memegang peranan penting dalam perencanaan pembangunan secara keseluruhan maupun dalam rangka perencanaan pembangunan ekonomi secara khususnya. Salah satu faktor ekonomi yang selalu jadi bahan pertimbangan dan bahan perhatian adalah pendapatan regional, yang akhirnya akan mencerminkan pendapatan per kapita (percapita income). Indikator tersebut diturunkan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang sampai saat ini sangat diperlukan oleh kalangan birokrasi pemerintah, ekonomi maupun peneliti. Bahkan secara makro, PDRB dapat pula menggambarkan tingkat inflasi yaitu ditunjukkan oleh perkembangan harga barang dan jasa dari seluruh sektor ekonomi. Inflasi yang tinggi menimbulkan biaya yang sangat besar kepada masyarakat. Beban terberat akibat inflasi yang tinggi akan dirasakan oleh penduduk miskin yang mengalami penurunan daya beli. Inflasi yang berfluktuasi tinggi menyulitkan pembedaan pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan umum harga-harga yang disebabkan oleh permintaan yang berlebih. Akibatnya terjadi alokasi inefisiensi sumber daya. Secara detail, kondisi perekonomian makro Kabupaten Bangka Tengah pada tahun 2009 diindikasikan oleh:

(1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB);

(2) Pertumbuhan Ekonomi;

(3) Pendapatan Perkapita;

(4) Inflasi;

(5) Investasi dan

(6) Distribusi PDRB.


Tabel I.16

PDRB, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pendapatan Per Kapita

Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2005 – 2009

Tahun

PDRB ADHB *)

(Jutaan Rp)

Pertumbuhan Ekonomi

ADHB

PDRB ADHK**)

(Jutaan Rp)

Pertumbuhan Ekonomi ADHK

Pendapatan Perkapita

ADHB

Pendapatan Perkapita

ADHK

2005

1.792.999

21,27

1.053.065

5,35

10.037.762

5.687.861

2006

1.989.553

10,96

1.094.147

3,90

10.495.814

5.598.631

2007

2.234.642

12,32

1.148.370

4,96

11.478.745

5.674.207

2008

2.682.738

20,05

1.196.920

4,23

14.111.102

5.745.630

2009

2.969.067

10,67

1.257.957

5,10

15.548.685

5.984.861

Rata-rata Pertumbuhan

15,06

-

4,71

-

-

Keterangan: *) Atas Dasar Harga Berlaku BPS Kabupaten Bangka Tengah

**) Atas Dasar Harga Konstan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan harga berlaku tahun 2009 senilai Rp. 2.969.067.000.000,- atau naik 10,67 % dibandingkan tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2009 merupakan hasil penghitungan dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan (tahun dasar 2000). Pada tahun 2009, PDRB Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan harga konstan adalah Rp. 1.257.957.000.000,-. Sehingga diperoleh laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bangka Tengah tahun ini sebesar 5,10 % dimana semua sektor perekonomian mengalami pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan PDRB selama lima tahun terakhir mencapai 4,71 % .

Berdasarkan harga berlaku, pendapatan perkapita Kabupaten Bangka Tengah adalah Rp 15.548.685,-. Sedangkan berdasarkan harga konstan, pendapatan perkapita di Bangka Tengah sebesar Rp 5.984.861,- pertahun. Selama lima tahun terakhir, pendapatan perkapita di Bangka Tengah terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.


Tabel I.17

Laju Inflasi Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2005 – 2009 (Persen)

Sektor

2005

2006

2007

2008*)

2009**)

1. Pertanian

9,84

7,70

9,98

19,49

3,11

2. Pertambangan & Penggalian

27,82

5,13

3,86

8,29

5,89

3. Industri Pengolahan

8,42

8,09

9,08

20,45

8,05

4. Listrik, Gas & Air Bersih

20,59

14,96

13,55

6,20

5,45

5. Bangunan

14,57

7,84

15,91

14,80

8,70

6. Perdagangan, Hotel & Restoran

12,36

6,83

6,29

19,36

1,04

7. Pengangkutan & Komunikasi

5,16

6,03

1,17

12,28

9,52

8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

6,09

8,79

5,41

1,71

2,76

9. Jasa-jasa

18,46

20,65

12,24

11,66

4,38

PDRB Dengan Migas

PDRB Tanpa Migas

15,12

15,12

6,80

6,80

7,02

7,02

15,18

15,18

5,30

5,30

Keterangan: *) Atas Dasar Harga Berlaku BPS Kabupaten Bangka Tengah

**) Atas Dasar Harga Konstan

Secara rata-rata semua sektor yang ada dalam penghitungan PDRB mengalami kenaikan harga. Pada tahun 2009, laju inflasi di Bangka Tengah adalah 5,30 %. Sedangkan pada tahun sebelumnya, laju inflasi mencapai 15,18 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tahun ini, secara umum kenaikan harga tidak terlalu tinggi. Bahkan ada komoditi yang mengalami penurunan harga (deflasi) pada bulan-bulan tertentu selama tahun 2009. Sektor Perdagangan, hotel dan restoran mengalami tingkat kenaikan harga terendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sedangkan tingkat kenaikan harga tertinggi terjadi di sektor pengangkutan & komunikasi, seperti pada tabel di atas.


Tabel I.18

Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bangka Tengah

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku (Persen)

Lapangan Usaha

2005

2006

2007

2008*)

2009**)

1. Pertanian

11,08

11,31

11,44

11,83

11,54

a. Tanaman Bahan Pangan

3,05

3,53

3,80

4,04

3,92

b. Tanaman Perkebunan

4,07

3,94

3,92

4,10

4,10

c. Peternakan dan Hasil -hasilnya

0,86

0,77

0,75

0,69

0,66

d. Kehutanan

0,44

0,40

0,38

0,36

0,33

e. Perikanan

2,66

2,66

2,58

2,63

2,53

2. Pertambangan & Penggalian

31,41

29,94

28,11

25,87

25,96

3. Industri Pengolahan

26,80

26,52

26,56

27,43

27,35

4. Listrik, Gas & Air Bersih

0,14

0,16

0,17

0,15

0,15

5. Bangunan

5,17

5,32

6,05

6,54

6,87

6. Perdagangan, Hotel & Restoran

16,69

17,11

17,71

18,27

17,75

7. Pengangkutan & Komunikasi

3,87

4,20

4,03

4,12

4,55

8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan

1,88

1,92

1,89

1,66

1,60

9. Jasa-Jasa

2,95

3,51

4,06

4,15

4,21

Jumlah

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

Keterangan: *) Atas Dasar Harga Berlaku BPS Kabupaten Bangka Tengah

**) Atas Dasar Harga Konstan

Seperti pada tahun sebelumnya, sektor Industri Pengolahan merupakan sektor yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap nilai PDRB 2009 Kabupaten Bangka Tengah, yaitu 27,35 % (atas dasar harga berlaku) dan 25,36 % (atas dasar harga konstan). Industri pengolahan ini meliputi industri pengolahan logam timah, minyak kelapa sawit (CPO), industri pengolahan air minum kemasan sampai industri-industri kecil yang berbasis rumah tangga.

Setelah industri pengolahan, sektor Pertambangan & Penggalian memberikan distribusi terbesar kedua terhadap PDRB Bangka Tengah 2009 yaitu 25,96 % (atas dasar harga berlaku) dan 22,14 % (atas dasar harga konstan). Sedangkan distribusi terendah terhadap nilai PDRB 2009 dikontribusikan oleh sektor Listrik, Gas & Air Bersih. Sektor ini selalu memberikan share terkecil dalam nilai PDRB Bangka Tengah selama lima tahun terakhir.

Tabel I.19

Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bangka Tengah

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Persen)

Lapangan Usaha

2005

2006

2007

2008*)

2009**)

1. Pertanian

13,36

13,52

13,31

13,27

13,22

a. Tanaman Bahan Pangan

2,48

2,53

2,49

2,39

2,37

b. Tanaman Perkebunan

6,10

6,17

6,16

6,22

6,21

c. Peternakan dan Hasil -hasilnya

1,08

1,06

1,05

1,01

1,01

d. Kehutanan

0,64

0,61

0,59

0,58

0,56

e. Perikanan

3,07

3,15

3,03

3,06

3,07

2. Pertambangan & Penggalian

24,20

23,43

22,66

22,18

22,14

3. Industri Pengolahan

27,51

26,90

26,43

26,10

25,36

4. Listrik, Gas & Air Bersih

0,12

0,13

0,13

0,12

0,12

5. Bangunan

5,69

5,80

6,09

6,60

6,73

6. Perdagangan, Hotel & Restoran

18,93

19,40

20,23

20,13

20,39

7. Pengangkutan & Komunikasi

5,14

5,62

5,69

5,97

6,36

8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan

2,38

2,40

2,39

2,37

2,35

9. Jasa-Jasa

2,66

2,80

3,08

3,25

3,33

Jumlah

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

Keterangan: *) Atas Dasar Harga Berlaku BPS Kabupaten Bangka Tengah

**) Atas Dasar Harga Konstan

Meskipun selalu berfluktuasi, selama lima tahun terakhir tiga lapangan usaha yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penghitungan nilai PDRB Bangka Tengah, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan adalah sektor industri pengolahan, sektor pertambangan & penggalian, dan sektor perdagangan, hotel & restoran.